Senin, 07 Maret 2016

Budaya Turun-temurun Ija Kroeng a.k.a Kain Sarung



Budaya Turun-temurun Ija Kroeng a.k.a Kain Sarung

Kain sarung memang dikenal sebagai pakaian laki-laki. Kain yang juga disebut sarong (dalam bahasa Jawa) atau ija kroeng (daerah Aceh) ini kerap kali dikenakan dalam situasi yang santai. Ada juga beberapa acara formal yang bisa dihadiri dengan berbusana kain sarung. Meskipun sarung identik sebagai busana kaum laki-laki, tetapi perempuan juga boleh memakai kain sarung ini. Saya jadi teringat saat dipesantren dulu banyak mbak-mbak santri putri yang sering mengenakan kain sarung. Tentu saja sarung yang mereka pakai bermotif lebih girly seperti motif bordir dan tenun, tidak seperti kain sarung bermotif kotak-kotak yang populer dikalangan santri putra. Mereka mengenakannya sebagai pengganti bagian bawah mukena potong, maupun sebagai rok panjang yang bisa dipakai dalam kegiatan sehari-hari.

Alhamdulillah saya pernah merasakan tinggal di pesantren saat SMP dan SMA. Sempat merasakan menimba ilmu di tempat yang banyak orang bilang adalah penjara suci itu. Tentu saja sebagai santri harus mematuhi peraturan yang ada, seperti halnya dalam aturan berpakaian di pesantren. Santri putra maupun santri putri harus berpakaian yang menutup aurat dan sopan, santri putri dengan gamis atau rok panjangnya sedangkan santri putra dengan kopyah a.k.a peci dan sarungnya. 


Meskipun santi putra juga diperbolehkan memakai celana, tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa mereka sering kali memakai sarung daripada celana. Saya kerap mendapati bahwa teman-teman santri putra tak enggan memakai sarung saat pergi keluar untuk membeli sesuatu di toko yang letaknya di keramaian jalan raya. Boleh dikatakan bahwa pelopor budaya kain sarung di kalangan anak muda (terutama di daerah Jawa Timur) adalah generasi anak pesantren. Tidak hanya saat menghadiri acara seperti ketika ada undangan untuk sholawatan al banjari dalam suatu hajatan, atau saat berlangsungnya haflah akhirissanah yaitu wisuda pesantren, tetapi juga saat nongkrong bersama teman-teman mereka tetap eksis berkain sarung. 

 Santri putra selalu eksis berkain sarung saat wisuda pesantren (Kepanjen, Kab. Malang, Jawa Timur)

Di tengah-tengah perkembangan zaman yang semakin modern dan canggih dimana banyak anak muda memilih-milih pakaian mereka untuk bisa tampil fashionable dan up to date, pesantren tetap mempertahankan budaya yang sudah semestinya dijunjung tinggi dan dilestarikan. Dengan kata lain, mungkin pesantren adalah satu-satunya tempat dimana budaya kain sarung bisa eksis dikalangan anak muda. 


Budaya kain sarung sering dianggap tidak sesuai dengan gaya anak muda masa kini. Sejujurnya pemikiran semacam itu haruslah dihilangkan mengingat sudah banyak produk kain sarung yang menawarkan desain trendy  yang beredar di pasaran. Berkain sarung bagi orangtua atau bapak-bapak memang sudah biasa dan sering kita lihat. Akan tetapi anak muda yang mau melestarikan budaya kain sarung, itu merupakan suatu hal yang luar biasa, seperti halnya yang dilakukan muda-mudi generasi pesantren.

Di lingkungan rumah saya sendiri (Wonosari, Kab. Malang, Jawa Timur) kain sarung dipakai berbondong-bondong oleh anak muda dan orangtua dalam acara tahlilan atau saat melaksanakan sholat Jumat di masjid. Ayah saya pun sangat suka memakai kain sarung. Saat sedang bepergian ayah selalu membawa kain sarung. Dari sekian banyak barang bawaan, kain sarung adalah hal yang tidak boleh terlupakan dan wajib dibawa. Selain itu, tidak hanya dalam acara  tertentu seperti pengajian, khotmil Quran, atau waktu melaksanakn sholat saja, bahkan waktu menonton televisi dan waktu makan pun ayah suka memakai kain sarung.


Ayah saat mengenakan sarung motif kotak-kotak favoritnya

 
So, pembaca yang budiman, mari bersama kita budayakan kembali kain sarung yang sudah menjadi budaya turun-temurun bangsa ini!

Kunjungi Facebook Ija Kroeng 

Silakan baca juga: