Budaya
Turun-temurun Ija Kroeng a.k.a Kain Sarung
Kain sarung memang dikenal sebagai
pakaian laki-laki. Kain yang juga disebut sarong
(dalam bahasa Jawa) atau ija kroeng (daerah
Aceh) ini kerap kali dikenakan dalam situasi yang santai. Ada juga beberapa
acara formal yang bisa dihadiri dengan berbusana kain sarung. Meskipun sarung
identik sebagai busana kaum laki-laki, tetapi perempuan juga boleh memakai kain
sarung ini. Saya jadi teringat saat dipesantren dulu banyak mbak-mbak santri putri
yang sering mengenakan kain sarung. Tentu saja sarung yang mereka pakai
bermotif lebih girly seperti motif
bordir dan tenun, tidak seperti kain sarung bermotif kotak-kotak yang populer
dikalangan santri putra. Mereka mengenakannya sebagai pengganti bagian bawah
mukena potong, maupun sebagai rok panjang yang bisa dipakai dalam kegiatan sehari-hari.
Alhamdulillah saya pernah merasakan
tinggal di pesantren saat SMP dan SMA. Sempat merasakan menimba ilmu di tempat
yang banyak orang bilang adalah penjara suci itu. Tentu saja sebagai santri
harus mematuhi peraturan yang ada, seperti halnya dalam aturan berpakaian di
pesantren. Santri putra maupun santri putri harus berpakaian yang menutup aurat
dan sopan, santri putri dengan gamis atau rok panjangnya sedangkan santri putra
dengan kopyah a.k.a peci dan sarungnya.
Meskipun santi putra juga diperbolehkan
memakai celana, tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa mereka sering kali memakai
sarung daripada celana. Saya kerap mendapati bahwa teman-teman santri putra tak
enggan memakai sarung saat pergi keluar untuk membeli sesuatu di toko yang
letaknya di keramaian jalan raya. Boleh dikatakan bahwa pelopor budaya kain
sarung di kalangan anak muda (terutama di daerah Jawa Timur) adalah generasi anak pesantren. Tidak hanya saat
menghadiri acara seperti ketika ada undangan untuk sholawatan al banjari dalam
suatu hajatan, atau saat berlangsungnya haflah
akhirissanah yaitu wisuda pesantren, tetapi juga saat nongkrong bersama
teman-teman mereka tetap eksis berkain sarung.
Santri putra selalu eksis berkain sarung saat wisuda pesantren (Kepanjen, Kab. Malang, Jawa Timur)
Di tengah-tengah perkembangan zaman yang
semakin modern dan canggih dimana banyak anak muda memilih-milih pakaian mereka
untuk bisa tampil fashionable dan up to date, pesantren tetap
mempertahankan budaya yang sudah semestinya dijunjung tinggi dan dilestarikan. Dengan
kata lain, mungkin pesantren adalah satu-satunya tempat dimana budaya kain
sarung bisa eksis dikalangan anak muda.
Budaya kain sarung sering dianggap tidak
sesuai dengan gaya anak muda masa kini. Sejujurnya pemikiran semacam itu
haruslah dihilangkan mengingat sudah banyak produk kain sarung yang menawarkan
desain trendy yang beredar di pasaran. Berkain sarung bagi orangtua
atau bapak-bapak memang sudah biasa dan sering kita lihat. Akan tetapi anak
muda yang mau melestarikan budaya kain sarung, itu merupakan suatu hal yang
luar biasa, seperti halnya yang dilakukan muda-mudi generasi pesantren.
Di lingkungan rumah saya sendiri (Wonosari, Kab. Malang, Jawa Timur) kain sarung
dipakai berbondong-bondong oleh anak muda dan orangtua dalam acara tahlilan
atau saat melaksanakan sholat Jumat di masjid. Ayah saya pun sangat suka memakai
kain sarung. Saat sedang bepergian ayah selalu membawa kain sarung. Dari sekian
banyak barang bawaan, kain sarung adalah hal yang tidak boleh terlupakan dan
wajib dibawa. Selain itu, tidak hanya dalam acara tertentu seperti pengajian, khotmil Quran,
atau waktu melaksanakn sholat saja, bahkan waktu menonton televisi dan waktu
makan pun ayah suka memakai kain sarung.
Ayah saat mengenakan sarung motif kotak-kotak favoritnya
So, pembaca yang
budiman, mari bersama kita budayakan kembali kain sarung yang sudah menjadi budaya
turun-temurun bangsa ini!
Kunjungi Facebook Ija Kroeng
Silakan baca juga: